Hak Pendidikan Indonesia terhadap Kaum Marginal
Masih Terpinggirkan
Oleh : Muchamad Tohir
SMA Negeri 52 Jakarta
Hak Asasi Manusia atau Declaration of Human Rights adalah hak - hak yang telah dimiliki seseorang sejak ia dalam kandungan yang berlaku secara universal. Hak Asasi Manusia merupakan salah satu alat yang efektif untuk menjaga keberlangsungan hidup dengan segala keunggulan dari sifat - sifat kemanusiaan. Kelahiran Magna Charta, Petition of Rights, Declaration of Rights, juga beberapa deklarasi lain, telah mengindikasikan bahwa Hak Asasi Manusia ada untuk mengawal kehidupan yang menghargai prinsip kemanusiaan. Mengenai hak - hak alamiah atau biasa disebut natural rights, yang tak dapat dicabut, seperti hak hidup, kemerdekaan, hak milik dan hak untuk meraih kebahagiaan. Deklarasi itulah mendorong lahirnya Declaration of Independence pada tanggal 4 Juli 1776.
Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pun telah mencantumkan peraturan mengenai Hak Asasi Manusia yang harus dilindungi, dihargai, dihormati dan dijunjung tinggi oleh setiap warga negara tanpa terkecuali. Undang - Undang Dasar 1945 adalah konstitusi dasar yang telah menjamin bagi adanya pemenuhan Hak Asasi Manusia, salah satunya mengenai hak untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat baik secara formal maupun informal.
Pendidikan di Indonesia menjadi tanggung jawab Kementerian Pendidikan Nasional Republik Indonesia (Kemdiknas). Pendidikan di Indonesia diatur melalui Undang - Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pendidikan di Indonesia diatur pula dalam Undang – Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945, salah satunya disebutkan dalam pasal 31 dan Bangsa Indonesia bertujuan untuk meningkatkan kualitas pendidikan Bangsa yang tercantum dalam Pembukaan Undang – Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 alinea ke - IV, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa.
Pelaksanaan dari pemenuhan Hak Asasi Manusia ini tergantung pada kebijakan pemerintah sebagai birokrasi negara. Dalam Undang - Undang No. 39 Tahun 1999, disebutkan bahwa pemerintah berupaya memenuhi kebutuhan warga negara dengan didukung oleh seluruh lapisan masyarakat. Pemenuhan Hak Asasi Manusia Bidang Pendidikan merupakan Kewajiban Negara. Undang - Undang Dasar 1945, Pasal 31 Bab XIII yang mengatur tentang Pendidikan, menyebutkan bahwa :
1. Tiap-Tiap warga negara berhak mendapat pendidikan.
2. Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan Pemerintah wajib membiayainya.
3. Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan Undang-Undang.
4. Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
5. Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai - nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.
Pemerintah Indonesia berusaha untuk melaksanakan Hak Asasi Manusia terutama Hak Pendidikan. Salah satunya melaksanakan Program Wajib Belajar 9 Tahun dengan biaya pendidikan dibebankan kepada Pemerintah Indonesia melalui Bantuan Operasional Pendidikan (BOP) dan Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Namun pertanyaannya, Lalu, seperti apa pendidikan anak Indonesia ? Bagaimana negara mengalokasikan Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional untuk memenuhi hak warga negara untuk memperoleh pendidikan ? Bagaimana implementasi dari UUD 1945 pasal 31 dan Undang - Undang Hak Asasi Manusia No. 39 Tahun 1999 ? Apakah program BOP dan BOS terlaksana dengan baik dan benar sesuai dengan yang diharapkan oleh Bangsa Indonesia ?
Tingkat pendidikan warga negara sebagai salah satu indikator untuk mengukur kemampuan warga negara Indonesia dalam bersaing pada era globalisasi ini baik dalam skala Nasional maupun Internasional.
Berdasarkan survei statistik yang dilakukan pada tahun 2003 oleh Badan Pusat Statistik Indonesia menunjukkan bahwa rata - rata 67% laki – laki dan perempuan yang berdomisili di daerah perkotaan dan pedesaan tidak sanggup meneruskan sekolah karena persoalan biaya. Keterbatasan kemampuan pembiayaan membuat warga negara yang tergolong kaum marginal tidak dapat menikmati hak – hak mereka yang pada dasarnya telah dilindungi oleh Undang - Undang Dasar 1945 Pasal 31. Persoalan pembiayaan ini, secara langsung telah berhubungan dengan kebijakan keuangan negara. Undang - Undang dasar 1945, Pasal 31 ayat 4, menyebutkan bahwa, “ Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang - kurangnya 20% dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan Nasional ”. Sementara, fakta yang ada memperlihatkan bahwa APBN hanya mengalokasikan 17,9% dana bagi pendidikan. Sangatlah tidak signifikan.
Bulan Juni dan Juli adalah bulan persiapan bagi para orang tua untuk menyekolahkan putra - putrinya. Bagi 36,1 juta rakyat Indonesia yang termasuk kaum marginal masuk ke SD atau melanjutkan ke yang lebih tinggi adalah sebuah angan - angan yang harus dikubur dalam - dalam. Anak - anak mereka yang sudah masuk sekolah pun terancam putus sekolah. Bahkan ditengah – tengah kerasnya hiruk pikuk kehidupan tak jarang kita menjumpai anak – anak usia sekolah namun mereka justru bekerja layaknya orang dewasa. Ini adalah suatu hal yang seharusnya tidak terjadi. Selain itu, sungguh ironis jika kita menengok pendidikan anak - anak Indonesia di daerah pedalaman yang jauh dari kota dan juga jauh dari teknologi canggih. Betapa kasihan pendidikan anak - anak yang tinggal di daerah serba kekurangan fasilitas itu. Untuk sebuah ruangan kelas saja sangat kurang memadai. Hal ini menunjukkan minimnya perhatian pemerintah terhadap pendidikan di daerah yang terpencil. Jangankan di daerah terpencil, di daerah kota besar saja masih banyak fasilitas pendidikan yang kurang memadai.
Anak - anak yang bertempat tinggal di sana seharusnya juga mendapatkan hak sama seperti anak - anak lainnya yang tinggal di daerah perkotaan. Mereka juga membutuhkan berbagai fasilitas yang mendukung proses belajar agar tujuan pembelajaran bisa tercapai secara maksimal. Sudah semestinya pemerintah memperhatikan mereka. Pemerintah juga harus menyediakan fasilitas serta sarana dan prasarana yang memadai. Ini demi kelangsungan proses pembelajaran mereka untuk mencetak generasi yang berpotensi dan berprestasi.
Pendidikan dari zaman sebelum merdeka hingga kini belum mengalami perubahan. Selama 350 tahun penjajahan Belanda, hak memperoleh pendidikan yang tinggi hanya diberikan kepada kalangan priyayi atau ningrat. Sedangkan bagi rakyat jelata hanya bisa menikmati sekolah sampai kelas tiga SD. Lantas apa bedanya dengan kondisi sekarang ?. Pada zaman sekarang hak memperoleh pendidikan memang tidak dibedakan dari keturunan, tetapi dibedakan dari kemampuan membayar pendidikan. Alhasil pasca merdeka, pendidikan hanya bisa dinikmati oleh mereka yang memiliki dana untuk membayarnya. Jika pra kemerdekaan pendidikan masyarakat dibagi berdasarkan keturunan, maka pasca kemerdekaan pendidikan masyarakat terbagi berdasarkan kemampuan membayar atau kapital yang dimilikinya. Kemanakah komitmen bangsa ini bahwa setiap warga negara berhak atas pendidikan yang layak?. Prinsip pendidikan sebagai investasi merupakan landasan bagi orang tua siswa untuk membiayai pendidikan anaknya. Meskipun harus menggadaikan emas, mobil, sawah, kebun, rumah, atau bahkan sampai meminjam uang ke bank atau tetangga. Itu semua orang tua lakukan dengan penuh rasa tulus demi anaknya agar bisa sekolah. Pertanyaannya, apakah pengorbanan orang tua bukan hanya isapan jempol saja? Semoga.
Kapitalisme yang mengurita dalam sistem pendidikan adalah akar masalah dari tidak terpenuhi hak pendidikan anak - anak Indonesia. Realitas di atas tidak terlepas dari jeratan ekonomi neoliberal sebagai konsekuensi globalisasi ekonomi yang berorientasi ekonomi pasar ( market - driven economy ). Salah satu implementasi dari sistem ekonomi neoliberal adalah dengan melakukan pencabutan subsidi di berbagai sektor kehidupan sosial, termasuk subsidi pendidikan dan subsidi Bahan Bakar Minyak. Maka terjadilah privatisasi pendidikan yang dibungkus oleh kebijakan otonomi perguruan tinggi maupun otonomi sekolah. Lalu, dimana posisi siswa yang orang tuanya tergolong sebagai kaum marginal ? Modal kecerdasan intelektual tidak menjamin kaum marginal dapat mencicipi pendidikan. Realitas tersebut bertolak belakang dengan Undang - Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003. Pada pasal 4 disebutkan “Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa“. Bahkan Pasal 5 menyatakan “Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu”. Lalu Apa memang kaum marginal tidak berhak untuk sekolah dan mencicipi pendidikan ? Siapa yang harus bertanggung jawab ?.
Kesenjangan partisipasi pendidikan yang terjadi berpengaruh terhadap upaya penuntasan program wajib belajar yang diterapkan. Meskipun pemerintah telah menyediakan Bantuan Operasional Sekolah (BOS) untuk jenjang pendidikan dasar, namun masih ditemukan adanya beberapa sekolah yang menarik berbagai iuran, sehingga memberatkan orang tua, terutama bagi keluarga miskin. Kesenjangan partisipasi pendidikan tersebut terlihat mencolok pada jenjang pendidikan menengah dan pendidikan tinggi. Faktor mahalnya biaya pendidikan menjadi pemicu terpinggirkannya masyarakat miskin dari jangkauan pendidikan. Akses mereka untuk bisa mendapatkan pendidikan yang murah dan bermutu semakin sulit diwujudkan, Ketiadaan biaya benar - benar membuat mereka tidak bisa memperoleh salah satu hak dasarnya, yaitu pendidikan. Sampai saat ini pendidikan yang berkualitas untuk masyarakat bawah belum tersentuh dalam program pendidikan nasional. Prestasi yang bagus sama sekali bukan jaminan untuk bisa mendapat tempat di sekolah negeri atau perguruan tinggi negeri. Jangan ditanya lagi hak anak - anak dari kaum marginal yang kurang berprestasi. Jika kita mengingin kemajuan terjadi pada bangsa ini, tetapi kita menutup pintu pencerdasan bagi generasi bangsa. Apa jadinya bangsa Indonesia di masa mendatang ?.
Kembalikan hak pendidikan anak Indonesia !.
Komitmen pemerintah terhadap wajib belajar harus terus dilakukan. Komitmen wajib belajar ini berimplikasi terhadap pembebasan biaya pendidikan sebagai bentuk tanggung jawab negara. Pendidikan adalah persoalan utama yang harus diselesaikan oleh Pemerintah Indonesia dewasa ini. Negara diharapkan lebih membuka ruang - ruang partisipasi publik dalam memonitor pelaksanaan dan perkembangan hak asasi manusia terutama dalam bidang pendidikan. Selain itu negara juga diharapkan dapat lebih partisipatif dalam merumuskan kebijakan yang menyangkut kehidupan orang banyak. Ini diperlukan sebagai kekuatan penyeimbang antara hak warga negara dengan kewajiban negara. Akankah hak pendidikan Indonesia terhadap kaum marginal masih terpinggirkan ? Entahlah.
Semoga di hari Hak Asasi Manusia ini hak pendidikan Indonesia terhadap kaum marginal lebih diperhatikan demi tercapainya cita – cita luhur bangsa Indonesia. Mencerdaskan anak bangsa.
BIODATA
Nama lengkap : MUCHAMAD TOHIR
Email : zona_tohir@yahoo.co.id
Jenis kelamin : Laki - Laki
Alamat rumah : Jalan Kampung Beting Jaya No. 33 Rt 006/018 Tugu Utara Koja Jakarta Utara
Alamat sekolah : Jalan Raya Tugu Semper No. 16 Semper Barat Cilincing Jakarta Utara
Nomor telepon : 021 - 92243582
Tidak ada komentar:
Posting Komentar